Ilmu tafsir memegang peran sentral dalam tradisi keilmuan Islam. Ia adalah jembatan antara teks wahyu dan realitas kehidupan umat manusia. Tanpa tafsir, Al-Qur’an berpotensi hanya menjadi teks diam yang dibaca tanpa pemahaman mendalam. Melalui tafsir, umat Islam tidak hanya mengetahui apa yang tertulis, tetapi juga memahami makna yang terkandung di balik kata. Tafsir adalah upaya untuk menyingkap konteks, memahami tujuan, dan menggali hikmah dari setiap ayat yang diturunkan.
Pentingnya ilmu tafsir tidak lepas dari fakta bahwa bahasa—bahkan bahasa ilahi—bersifat kompleks dan terbuka terhadap berbagai penafsiran. Ayat-ayat Al-Qur’an turun dalam berbagai situasi sosial, budaya, dan politik pada masa Nabi Muhammad, sehingga memahami latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) menjadi kunci untuk membaca maknanya secara utuh. Tanpa ilmu tafsir, risiko kesalahan memahami ajaran agama menjadi tinggi. Bahkan, sejarah menunjukkan bahwa penyalahgunaan ayat tanpa tafsir yang benar dapat memicu kesesatan atau kekerasan atas nama agama.
Lebih dari sekadar instrumen akademik, ilmu tafsir juga memainkan peran moral dan sosial. Tafsir memberi umat kemampuan untuk menyesuaikan ajaran ilahi dengan tantangan zaman. Ia tidak membekukan agama dalam masa lalu, melainkan menjadikannya relevan untuk masa kini dan masa depan. Melalui tafsir, Al-Qur’an berbicara tentang isu keadilan sosial, lingkungan, pendidikan, dan kemanusiaan dengan semangat kontekstual. Tafsir memungkinkan teks suci tetap hidup, dialogis, dan membumi.
Oleh karena itu, mempelajari dan menghargai ilmu tafsir adalah bagian dari menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus menghidupkannya dalam dinamika zaman. Tafsir bukan sekadar pemahaman teknis atas teks, tetapi juga wujud cinta dan tanggung jawab terhadap wahyu. Di tengah derasnya tafsir mimpi44 bebas di media sosial, penting bagi umat untuk kembali pada tafsir yang otoritatif, ilmiah, dan penuh hikmah—agar pesan Al-Qur’an tetap menjadi petunjuk, bukan justru sumber kebingungan.